Monday 16 June 2014

Chapter 1 Part 3

cerita sebelumnya...



“Boleh aku duduk di sini?” tanya lelaki pemesan hot cappuccino dan French fries tadi. Aku yang sedang bernostalgia dengan diriku sendiri sedikit terkejut akan kedatangan lelaki asing itu. Aku mengerjap beberapa kali, bingung. Tapi aku izinkan juga dia duduk di depanku. “Terima kasih,” katanya sambil meletakkan pesanannya di mejaku.
Aku hanya tersenyum kaku.
“Kau menunggu seseorang?” tanyanya memecah keheningan.
“Begitulah,” jawabku datar. Aku memang membutuhkan teman bicara, tapi bukan berarti aku mau mengobrol santai dengan lelaki asing. Ia hanya tersenyum tipis, lalu perlahan menyesap cappuccino-nya yang mengepulkan asap.
Beberapa menit kemudian yang ada hanyalah keheningan disertai kesibukan kafe dan rintik hujan yang belum juga mau berhenti. Merasa aneh karena hanya diam, aku memutuskan untuk bicara saja, meski perkataanku terkesan tidak sopan.
“Kenapa kau duduk bersamaku?”
Ia tersenyum lagi. “Karena aku ingin.”
“Hanya itu?” tanyaku heran.
Ia mengedikkan bahu, lalu berkata, “tidak semua hal membutuhkan alasan.”
“Kau tidak sedang ingin menggodaku, kan? Seperti layaknya roman picisan..”
Seketika itu juga ia menyemburkan tawa. Memang tidak terlalu keras, tapi cukup untuk didengar seisi kafe. Aku refleks menganggukkan kepala ke sekelilingku, memohon maaf karena tawa si lelaki asing ini sedikit mengejutkan dan mengganggu mereka. Memangnya apa yang lucu?
Saat aku ingin mengatakan sesuatu, tiba-tiba pintu kafe terbuka. Laila datang. Aku melambaikan tangan, memberi tanda keberadaanku pada Laila. Asal kalian tahu saja, Laila yang aku kenal adalah Laila yang selalu ceria. Siapa pun yang melihat wajahnya yang berbinar oleh kebahagiaan pasti akan turut bersuka cita. Tapi tidak untuk hari ini. Wajahnya dipenuhi mendung, sewarna dengan kelabu hujan yang menambah kelamnya malam. Tanpa peduli tempat, Laila langsung menghambur ke arahku. Aku langsung berdiri dan memeluk Laila yang menangis tanpa suara. Aku mengusap rambut Laila, berharap akan menenangkannya.
“Hey.. shhh.. kamu kenapa, La?” Laila melepaskan pelukan. Ia masih sesenggukan. Ya Tuhan.. setahuku Laila adalah pelindungku yang sekuat baja, kenapa ia malah menangis? “Talk to me, okay?” ujarku sambil mengelap air matanya dengan tisu.
Aku mengajak Laila duduk di sampingku. Menyadari ada orang lain yang duduk di depan kami (aku pun sampai lupa kalau lelaki asing itu masih di sini), aku langsung merasa aneh membiarkan sahabatku menangis di depan orang asing yang baru saja kukenal. Baru saja aku ingin memperkenalkan lelaki yang aku pun tak tahu namanya, tiba-tiba saja suasana disekelilingku terasa dingin. Muram. Bukan udara luar yang menyebarkan suasana itu, namun tatapan Laila dan lelaki asing.. tatapan mereka sama-sama menyiratkan kebencian.


bersambung...


3 comments:

  1. Hm, di sini "aku" lebih cerewet ya :D
    Ada juga beberapa kalimat yang menurutku bisa dipisahkan dari satu paragraf supaya gak kepanjangan.
    Sukanya, di sini lebih banyak dialog dan cara interaksinya oke :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Huaaa aku kebiasaan bikin karakter cerewet, karena aku emang cerewet sih. *krisis karakter* Ini dia masalahku. >.<
      Makasih koreksinya. ^^

      Delete
    2. ttd:
      Linda
      (lupa logout dari bbiwriting) -_-

      Delete