“Boleh aku duduk di sini?” tanya lelaki pemesan hot cappuccino dan French
fries tadi. Aku yang sedang bernostalgia dengan diriku sendiri sedikit
terkejut akan kedatangan lelaki asing itu. Aku mengerjap beberapa kali,
bingung. Tapi aku izinkan juga dia duduk di depanku. “Terima kasih,” katanya
sambil meletakkan pesanannya di mejaku.
“Kau menunggu seseorang?” tanyanya memecah keheningan.
“Begitulah,” jawabku datar. Aku memang membutuhkan teman bicara, tapi
bukan berarti aku mau mengobrol santai dengan lelaki asing. Ia hanya tersenyum
tipis, lalu perlahan menyesap cappuccino-nya
yang mengepulkan asap.
Beberapa menit kemudian yang ada hanyalah keheningan disertai kesibukan
kafe dan rintik hujan yang belum juga mau berhenti. Merasa aneh karena hanya
diam, aku memutuskan untuk bicara saja, meski perkataanku terkesan tidak sopan.
“Kenapa kau duduk bersamaku?”
Ia tersenyum lagi. “Karena aku ingin.”
“Hanya itu?” tanyaku heran.
Ia mengedikkan bahu, lalu berkata, “tidak semua hal membutuhkan alasan.”
“Kau tidak sedang ingin menggodaku, kan? Seperti layaknya roman
picisan..”
Seketika itu juga ia menyemburkan tawa. Memang tidak terlalu keras, tapi
cukup untuk didengar seisi kafe. Aku refleks menganggukkan kepala ke
sekelilingku, memohon maaf karena tawa si lelaki asing ini sedikit mengejutkan
dan mengganggu mereka. Memangnya apa yang
lucu?
Saat aku ingin mengatakan sesuatu, tiba-tiba pintu kafe terbuka. Laila datang.
Aku melambaikan tangan, memberi tanda keberadaanku pada Laila. Asal kalian tahu
saja, Laila yang aku kenal adalah Laila yang selalu ceria. Siapa pun yang
melihat wajahnya yang berbinar oleh kebahagiaan pasti akan turut bersuka cita.
Tapi tidak untuk hari ini. Wajahnya dipenuhi mendung, sewarna dengan kelabu
hujan yang menambah kelamnya malam. Tanpa peduli tempat, Laila langsung
menghambur ke arahku. Aku langsung berdiri dan memeluk Laila yang menangis
tanpa suara. Aku mengusap rambut Laila, berharap akan menenangkannya.
“Hey.. shhh.. kamu kenapa, La?” Laila melepaskan pelukan. Ia masih
sesenggukan. Ya Tuhan.. setahuku Laila adalah pelindungku yang sekuat baja,
kenapa ia malah menangis? “Talk to me,
okay?” ujarku sambil mengelap air matanya dengan tisu.
Aku mengajak Laila duduk di sampingku. Menyadari ada orang lain yang
duduk di depan kami (aku pun sampai lupa kalau lelaki asing itu masih di sini),
aku langsung merasa aneh membiarkan sahabatku menangis di depan orang asing
yang baru saja kukenal. Baru saja aku ingin memperkenalkan lelaki yang aku pun
tak tahu namanya, tiba-tiba saja suasana disekelilingku terasa dingin. Muram. Bukan
udara luar yang menyebarkan suasana itu, namun tatapan Laila dan lelaki asing..
tatapan mereka sama-sama menyiratkan kebencian.
bersambung...
created by Linda Z @ Reading with Archuleta
Hm, di sini "aku" lebih cerewet ya :D
ReplyDeleteAda juga beberapa kalimat yang menurutku bisa dipisahkan dari satu paragraf supaya gak kepanjangan.
Sukanya, di sini lebih banyak dialog dan cara interaksinya oke :)
Huaaa aku kebiasaan bikin karakter cerewet, karena aku emang cerewet sih. *krisis karakter* Ini dia masalahku. >.<
DeleteMakasih koreksinya. ^^
ttd:
DeleteLinda
(lupa logout dari bbiwriting) -_-